A.
KONSEP
DASAR PENYAKIT EFUSI PLUERA
1.
DEFINISI
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam
ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi
sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C
Diane, 2000)
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang
pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit
primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5
sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural
bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi
penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C Sylvia, 1995). Efusi pleura
adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura
diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat
atau cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis danTerapi / UPF ilmu penyakit paru,
1994, 111).
2.
ETIOLOGI
Berdasarkan
jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat, eksudat
dan hemoragis
a. Transudat
dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri),
sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis), syndroma vena cava
superior, tumor, sindroma meig.
b. Eksudat
disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya, tumor, ifark paru, radiasi, penyakit
kolagen.
c. Effusi
hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, tuberkulosis.
d. Berdasarkan
lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral.
Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit
dibawah ini :Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark
paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis
3.
EPIDEMIOLOGI
Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang
sedang berkembang, salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan
oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama
disebabkan oleh gagal jantung kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di
Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB Paru adalah
peyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna
mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai
pria. Mortalitas dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab,
tingkat keparahan dan jenis biochemical dalam cairan pleura.
4.
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan
normal rongga pleura mengandung kurang lebih 10-20cc cairan dengan konsentrasi
protein rendah, terdapat diantara pleura parietalis dan pleura visceralis yang
berfungsi sebagai pelicin agar gerakan kedua pleura tidak terganggu saat
respirasi. Cairan ini dibentuk oleh kapiler pleura parietalis dan direabsorbsi
oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura visceralis. Keseimbangan ini
tergantung pada tekanan hidrostatik dan osmotik dan kemampuan reabsorbsi oleh
kapiler dan pembuluh getah bening pleura dan kemampuan penyaluran oleh pemuluh
getah bening. Pada keadaan patologis rongga pleura dapat menampung beberapa
liter cairan. Efusi pleura dapat terjadi karena adanya peningkatan tekanan
hidrostatik sistemik, penurunan tekanan osmotik koloid darah akibat
hipoproteinemi, kerusakan dinding pembuluh darah, gangguan penyerapan kembali
cairan pleura oleh saluran pembuluh getah bening, robeknya pembuluh darah atau
saluran getah bening dan cairan acites yang dapat masuk melalui pembuluh getah
bening diafragma.
Penjelasan secara
ringkas seperti pada berikut
5.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologik
mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi pleura, meskipun
tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya. Pada foto toraks terlihat
perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut
kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan
memberikan gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus. Cairan berjumlah
kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan
teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila cairan efusi
lebih dari 300 ml. Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA),
maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral.
Di bawah ini beberapa pemeriksaan radiologis yang
lazim dilakukan :
1)
Rontgen dada :
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Efusi
pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di
konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus
dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml,
sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura
sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya
sudut costophreicus yang
tidak tajam.
2)
CT scan dada:
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan
adanya pneumonia, abses paru atau
tumor.
3)
USG dada:
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya
sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
b.
Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh
melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan
diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
c.
Analisa cairan pleura
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus
diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, yaitu melalui thorakosentesis.
Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
1)
Komposisi
kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan
glucose
2)
Dilakukan
pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi
infeksi bakteri
3)
Pemeriksaan
hitung sel
4)
Sitologi
untuk mengidentifikasi adanya keganasan
d. Biopsi
Diagnosis dari Pleuritis TB secara umum
ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Biopsi pleura
parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk Pleuritis TB.
Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan
granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif.
Pada
sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Biopsi pleura perlu
dipikirkan setelah hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis
keganasan dapat ditegakkan dengan biopsi pleura tertutup pada 60% penderita.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang dilakukan berulang (dua
sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 24%. Biopsi pleura
dapat dilakukan dengan jarum.
6.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab
dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan
ketidaknyamanan serta dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab
dasar (co; gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
Torasentesis
dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan
analisis dan untuk menghilangkan disneu.
Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi
kembali dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan
nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam
keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang
dihubungkan ke system drainase water-seal
atau pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti
tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural
dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan
termasuk radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
B.
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a.
Data
Dasar
Identitas Pasien
|
Penanggung
|
|
Nama
|
||
Jenis Kelamin
|
||
Usia
|
||
Status Perkawinan
|
||
Agama
|
||
Suku bangsa
|
||
Pendidikan
|
||
Bahasa yang digunakan
|
||
Pekerjaan
|
||
Alamat
|
||
Diagnosa medis
|
||
Sumber biaya
|
||
Hub. dengan keluarga
|
b.
Riwayat
Kesehatan
1) Keluhan
Utama
2) Riwayat
penyakit sekarang
3) Riwayat
penyakit lalu
4) Riwayat
penyakit keluarga
c.
Data
Bio-Psiko-Spiritual
1)
Bernapas
Mengeluh sesak nafas,
batuk, Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi
interkostal, bunyi napas menurun dan fremitus menurun perkusi dada :
hiperresonan di area terisi udara dan bunyi pekak di area terisi cairan.
Observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma
atau kemps, penurunan pengembangan (area sakit). Kulit :pucat, sianosis,
berkeringat, krepitasi subkutan.
2) Makan dan minum.
Mengatakan mual,
anoreksia
3)
Eliminasi
-
BAB :
-
BAK :
4)
Aktivitas
Mudah lelah, dan sesak
saat beraktivitas.
5)
Istirahat
dan tidur
Susah tidur akibat
nyeri yang dirasakan pada dada.
6)
Pengaturan
suhu tubuh
Mengeluh demam.
7)
Kebersihan
diri
Kurang terawat akibat
ttidak dapat melakukan aktivitas dengan optimal.
8)
Rasa
Nyaman
Gejala tergantung
ukuran/area terlibat : Nyeri yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan
menyebar ke leher, bahu, abdomen
9) Rasa
aman
ketakutan, gelisah,
cemas akan penyakit yang diderita.
10) Interaksi sosial
Komunikasi terganggu
akibat sesak yang diderita.
11) Pengetahuan
Mengkaji seberapa
pegetahuan pasien akan penyakit yang dideritanya.
12) Rekreasi
Mengkaji rekreasi yang
dilakukan pasien.
13) Prestasi
Mengkaji prestasi yang
pernah didapat klien.
14) Spiritual
Dalam melaksanakan
kegiatan keagamaan, pasien mengalami gangguan akibat susahnya melaksanakan
aktivitas.
d.
Pengkajian
Fisik
1)
Kesadaran
Umum
Kesan umum : lemah
Kesadaran : compos metis
Postur tubuh : sedang, kurus
Kebersihan diri : baik
Turgor kulit : menurun
Warna kulit : sawo matang
2)
Gejala
Kardinal
Suhu : hipertermi
Nadi : takikardi, diritmia
TD : hipertensi/hipotensi
RR : Takipnea
3) Pemeriksaan Fisik
Gejala yang ditemukan melalui
pemeriksaan fisik bervariasi tergantung dari volume efusi pleura. Secara umum,
tidak dapat ditemukan jika volumenya < 300 ml. Jika > 300 ml pemeriksaan
fisik yang dapat ditemukan diantaranya:
a)
Mata : Terdapat lingkar hitam pada mata (sianosis)
b)
Hidung :
Terdapat pernafasan cuping hidung.
c)
Thorax :
·
Suara pekak atau menurunnya resonansi pada perkusi
·
Suara pernafasan berkurang atau menghilang
·
Tactile fremitus melemah
·
Egofoni
·
Suara gesekan pleura
·
Pengembangan rongga torak yang asimetris sehingga sisi
yang mengalami efusi terjadi ketinggalan bernafas (Hoover sign)
· Pergeseran
mediastinum hanya terlihat pada efusi yang masif (>1000 mL). Pada gambaran
radiologi dijumpai adanya pergesaran trakea dan mediastinum ke arah kontra
lateral lesi efusi.
e) Abdomen : massa
intra abdomen atau nodul pada payudara
f) Ekstremitas:
dapat mengalami udema, bahkan udema anasarka
e. Pemeriksaan penunjang
Hasil laboratorium menunjukkan
adanya peningkatan leukosit
2.
DIAGNOSAKEPERAWATAN
a.
Data
Fokus
1)
Data subyektif
a.
Mengeluh
sesak nafas
b.
Mengatakan
mual, anoreksia
c.
Mengeluh
demam
d.
Mengeluh
nyeri dada
2) Data
obyektif
a.
Nafas
pendek, dangkal, suara pernafasan lemah atau menghilang.
b.
Tidur
miring kaki ditekuk
c.
Kadang
meringis
d.
Batuk
e.
Dada
tampak cembung, ruang antar iga datar, kurang bergerak sat
pernafasan/tertinggal.
f.
Getaran
nafas saat perabaan menurun
g.
Fokal
fremitus melemah, suara ketuk yang redup
h.
Berat
badan menurun
Hasil laboratorium menunjukkan adanya peningkatan leukosit
Diagnosa
yang mungkin timbul antara lain:
a.
Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan Martin
Tucleer, dkk, 1998).
b.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu makan akibat
sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen (Barbara Engram,
1993).
c.
Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
d.
Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap
dan sesak nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).
e.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah)
(Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
f.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan
kurang terpajang informasi (Barbara
Engram, 1993)
3.
PERENCANAAN
KEPERAWATAN
Perencanaan Asuhan
Keperawatan EfusiPleura:
a.
Diagnosa Keperawatan I
Ketidakefektifan
pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap
penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : Pasien mampu
mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil
: Irama, frekuensi dan
kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak
ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar jelas.
Rencana
tindakan :
1)
Identifikasi faktor penyebab.
Rasional :
Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis effusi pleura
sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2)
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
Rasional :
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
3)
Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional :
Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
4)
Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon
pasien).
Rasional :
Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
5)
Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.
Rasional :
Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru.
6)
Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional
: Menekan daerah yang nyeri ketika batuk
atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif.
7)
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan
obat-obatan serta foto thorax.
Rasional :
Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari
berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.
b.
Diagnosa Keperawatan II
Gangguan
pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan
peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil
: Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan, berat badan normal dan
hasil laboratorium dalam batas normal.
Rencana
tindakan :
1)
Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional :
Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama,
ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
2)
Auskultasi suara bising usus.
Rasional :
Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi
pencernaan.
3)
Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional : Bau
mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
4)
Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional
: Penyajian makanan yang menarik dapat
meningkatkan nafsu makan.
5)
Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan
reflek.
6)
Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP
Rasional
: Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan
metabolisme dan pembentukan antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.
7)
Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya
(zevity, ensure, socal, putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 %
dari kebutuhan.
Rasional :
Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam
tubuh.
c.
Diagnosa Keperawatan III
Cemas atau
ketakutan sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
Tujuan :Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi
kecemasan.
Kriteria hasil
:Pasien mampu bernafas secara
normal, pasien mampu beradaptasi dengan keadaannya. Respon non verbal klien
tampak lebih rileks dan santai, nafas teratur dengan frekuensi 16-24 kali
permenit, nadi 80-90 kali permenit.
Rencana
tindakan :
1)
Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi
fowler.
Jelaskan
mengenai penyakit dan diagnosanya.
Rasional :
pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama
dalam perawatan.
2)
Ajarkan teknik relaksasi
Rasional :
Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
3)
Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
Rasional :
Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam
mengatasi stress.
4)
Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.
Rasional :
Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
5)
Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasional :
Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan
membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
6)
Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional :
Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan
baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.
d.
Diagnosa Keperawatan IV
Gangguan pola
tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan nyeri pleuritik.
Tujuan :Tidak terjadi gangguan pola tidur dan
kebutuhan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat
tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan
mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu
3-8 jam per hari.
Rencana tindakan :
1)
Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan
memperlancar peredaran O2 dan CO2.
2)
Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan
pasien sebelum dirawat.
Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan
mengganggu proses tidur.
3)
Anjurkan pasien untuk latihan
relaksasi sebelum tidur.
Rasional : Relaksasi dapat
membantu mengatasi gangguan tidur.
4)
Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap
kondisi pasien.
e.
Diagnosa Keperawatan V
Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah).
Tujuan :Pasien
mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil :Terpenuhinya
aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan bersemangat, personel
hygiene pasien cukup.
Rencana tindakan :
1)
Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat
aktivitas serta adanya perubahan tanda-tanda vital.
Rasional :
Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
2)
Bantu px memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.
3)
Awasi px saat melakukan aktivitas.
Rasional : Memberi pendidikan pada px dan keluarga dalam
perawatan selanjutnya.
4)
Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
Rasional : Kelemahan suatu tanda px belum mampu beraktivitas
secara penuh.
5)
Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat.
Rasional : Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.
6)
Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap.
Rasional : Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu
mengembalikan pasien pada kondisi normal.
f.
Diagnosa Keperawatan VI
Kurang
pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurangnya
informasi.
Tujuan : Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi
dan aturan pengobatan.
Kriteria hasil :
1)
Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.
2)
PX dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan
evaluasi medik.
3)
Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan
pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.
Rencana
tindakan :
1)
Kaji patologi masalah individu.
Rasional :
Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar
untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.
2)
Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.
Rasional :
Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi dan keganasan
dapat meningkatkan insiden kambuh.
3)
Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat
(contoh, nyeri dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).
4)
Rasional : Berulangnya effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk
mencegah, menurunkan potensial komplikasi.
5)
Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat,
latihan).
Rasional :
Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah
kekambuhan.
4.
PELAKSANAAN KEPERAWATAN
Pelaksanaan
keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan.
5.
EVALUASI
Evaluasi
merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan melihat sejauh
mana diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan dan mengevaluasi kesalahan yang
terjadi selama pengkajian, analisa, intervensi, mengimplementasi keperawatan.
a.
Evaluasi Formatif
Evaluasi
setelah rencana keperawata dilakukan untuk membantu keefektifan tindakan yang
dilakukan secara berkelanjutan hingga tujuan tercapai.
b.
Evaluasi Sumatif
Evaluasi yang
diperlukan pada akhir tindakan keperawatan secara obyektif, fleksibel dan
efisien.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2010. Empiema. Available at:
Ciyu. 2012. Laporan pendahuluan empiema. Available at:
http://ciyuinspirasiku.blogspot.com/2013/02/laporan-pendahuluan
empiema.html. diakses tanggal 16
September 2014
Doengoes,
Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Sely.
2009. Keperawatan Empiema. Available at: http://sely
biru.blogspot.com/2009/01/asuhan
Smeltzer,
Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 1. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 3 Jilid 1 dan 2., FK. UI, Media AES Culapius, Jakarta.
Morton, Gallo, Hudak, 2012. Keperawatan
Kritis Volume 1 dan 2 Edisi 8. EGC , Jakarta.
Price, Sylvia A. Dkk.2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzanna C. 2012. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddarth Edisi 8 Volume 2. EGC, Jakarta.
T. Heather Herdman. Ph D, RN. Nanda
Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. EGC.
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar