A. PENGERTIAN
Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di
fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty
& Nurbaiti, 2001)
Karsinoma nasofaring
adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa
Rossenmuller dan atap nasofaring.Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker
mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak
tumor yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring
merupakan keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang sangat mencolok.
Insidennya paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada penduduk di daerah
Cina bagian selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia
penyakit ini ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian
laporan kasus dalam jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini
ditemukan lebih banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.
Nasofaring sendiri
merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid.Banyak
terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya.Banyak syaraf kranial yang
berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan
suplai darah.Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi
dari kanker tersebut.
B.
ETIOLOGI
Insidens karsinoma
nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan
virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial,
jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi,
infeksi kuman atau parasit juga sangat
mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat
dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr,
karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup
tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).
C. PATOFISIOLOGI
Terbukti juga infeksi
virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV
akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai
di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain itu, dibuktikan
oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku
Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat
dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer.
Hubungan antara karsinoma
nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai
peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini .Pada pasien karsinoma
nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma.EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom
virus.Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di
dalam sel penderita karsinoma nasofaring. Terdapat 5 stadium pada karsinoma
nasofaring yaitu:
PENENTUAN STADIUM :
TUMOR SIZE (T)
|
|
T
|
Tumor primer
|
T0
|
Tidak tampak tumor
|
T1
|
Tumor
terbatas pada satu lokasi saja
|
T2
|
Tumor
dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
|
T3
|
Tumor telah
keluar dari rongga nasofaring
|
T4
|
Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak
atau saraf-saraf otak
|
Tx
|
Tumor tidak
jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
|
REGIONAL LIMFE NODES (N)
|
|
N0
|
Tidak ada pembesaran
|
N1
|
Terdapat
pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
|
N2
|
Terdapat
pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
|
N3
|
Terdapat
pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
|
METASTASE JAUH (M)
|
|
M0
|
Tidak ada metastase jauh
|
M1
|
Metastase jauh
|
- Stadium I :T1 No dan Mo
- Stadium II :T2 No dan Mo
- Stadium III :T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
- Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Moatau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Moatau T1/T2/T3/t4 dan
No/N1/N3/N4 dan M1
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih
berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ
2.
Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar
pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di
kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4.
Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di
semua sisi leher
5.
Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih
serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr (
EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang
tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten
(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam
hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
D. TANDA DAN GEJALA
Gejala karsinoma nasofaring dapat
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain:
1.
Gejala nasofaring
Adanya epistaksis
ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi tumor sudah tumbuh
karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor)
2.
Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan yang timbul
akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti tinitus, tuli, rasa tidak nyaman
di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3.
Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan
rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan
mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling,
eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke
kelenjar leher
Yaitu
dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang
akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang
mendorong pasien untuk berobat.Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi
hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang
mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,
pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila
diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan
leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi
pun akan ditemukan.
2.
Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi
virus E-B
3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan
dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan
mulut. Dilakukan dengan ane\stesi topikal dengan Xylocain 10 %.
4. Pengerokan dengan kuret daerah
lateral nasofaring dalam narkosis.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Radioterapi
Sebelumnya persiapan
pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi harus diobati
terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk
tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika
tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000 rad.
Ini dapat diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang belum
menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan
mengurangi rasa nyeri.
2. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat
berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran
atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang
terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan
antivirus.
4. Kemoterapi
Sebagai terapi tambahan
dan diberikan pada stadium lanjut.Biasanya dapat digabungkan dengan radiasi
dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu
Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100
mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15
mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping
fingsi hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
5. Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi leher
radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
G.
PENCEGAHAN
Pemberian
vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didearah dengan resiko
tinggi.Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya,
penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial/ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab. Melakukan tes serologik lgA-anti VCA dan lgA anti EA secara
massal dimsa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring
secara lebih dini.
H.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Faktor herediter atau riwayat kanker
pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti
iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta
makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah
juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty &
Nurbaiti, 2001 hal 146)
e. Tanda dan gejala :
1.
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada
pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri,
ansietas.
2.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat
palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan
3.
Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan
penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol,
depresi, menarik diri, marah.
4.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau
diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
5.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat,
aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi
makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor
kulit.
6.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia,
juling, eksoftalmus
7.
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa
nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
akibat penyinaran
8.
Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup
dengan seseorang yang merokok), pemajanan
9.
Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen,
pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
10.
Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak
hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.
11.
Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem
pendukung
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan
- Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan pemasukan nutrisi..
- Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
- Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
- Resiko Aspirasi b/d inefektif reflek menelan
- Defisit self care b/d kelemahan
- Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.
3.
PERENCANAAN KEPERAWATAN
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
1
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi
berlebihan
|
Setelah dilakukan askep .. jam status respirasi: terjadi kepatenan jalan nafas dengan Kriteria :
1. Tidak ada
panas
2. Cemas
tidak ada
3. Obstruksi
tidak ada
4. Respirasi
dalam batas normal 16-20x/mnt
5. Pengeluaran
sputum dari jalan nafas
6. paru
bersih
|
Airway Management/Manajemen jalan
nafas
Bebaskan jalan nafas.
Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi apakah klien membutuhkan insertion airway
Jika perlu, lakukan terapi fisik (dada)
Auskultasi suara nafas, catat daerah yang terjadi
penurunan atau tidak adanya ventilasi
Berikan bronkhodilator, jika perlu
Atur pemberian O2, jika perlu
Atur intake cairan agar seimbang
Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
Monitor status pernafasan dan oksigenasi
Airway Suctioning/Suction jalan
nafas
Keluarkan
sekret dengan dorongan batuk/suctioning
Lakukan
suction pada endotrakhel/nasotrakhel, jika perlu
|
2
|
Nyeri akut b/d agen injuri fisik
|
Setelah dilakukan askep ….. jam klien menunjukkan tingkat kenyamanan dan level nyeri:
klien terkontrol dg KH:
Klien
melaporkan nyeri berkurang skala nyeri 2-3
Ekspresi
wajah tenang, klien mampu istirahat dan tidur
V/S dbn
(TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt)
|
Manajemen
nyeri :
Kaji
tingkat nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
Gunakan
teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
Kontrol
faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
Kurangi
faktor presipitasi nyeri.
Pilih dan
lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
Ajarkan
teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
Berikan
analgetik untuk mengurangi nyeri.
Evaluasi
tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
Kolaborasi
dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.
Monitor
penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Administrasi
analgetik :
Cek
program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
Cek
riwayat alergi..
Tentukan
analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
Monitor
TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
Berikan
analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
Evaluasi
efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
|
3
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b/d intake nutisi in adekuat, faktor biologis
|
Setelah dilakukan askep …. jam klien menunjukan status nutrisi adekuat dibuktikan
dengan BB stabil tidak terjadi mal nutrisi, tingkat energi adekuat, masukan
nutrisi adekuat
|
Manajemen
Nutrisi
kaji pola
makan klien
Kaji
adanya alergi makanan.
Kaji
makanan yang disukai oleh klien.
Kolaborasi
dg ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan klien.
Anjurkan
klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
Yakinkan
diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.
Berikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor
Nutrisi
Monitor BB
setiap hari jika memungkinkan.
Monitor
respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
Monitor
lingkungan selama makan.
Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
Monitor
adanya mual muntah.
Monitor
adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
Monitor
intake nutrisi dan kalori.
|
4
|
Risiko infeksi b/d imunitas tubuh primer menurun,
prosedur invasive
|
Setelah dilakukan askep …… jam tidak terdapat faktor risiko infeksi pada klien
dibuktikan dengan status imune klien adekuat: bebas dari gejala infeksi,
angka lekosit normal (4-11.000),
|
Konrol
infeksi :
Bersihkan
lingkungan setelah dipakai pasien lain.
Batasi
pengunjung bila perlu.
Intruksikan
kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan sesudahnya.
Gunakan
sabun anti miroba untuk mencuci tangan.
Lakukan
cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
Gunakan
baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
Pertahankan
lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
Lakukan
perawatan luka dan dresing infus setiap hari.
Tingkatkan
intake nutrisi dan cairan
berikan
antibiotik sesuai program.
Proteksi
terhadap infeksi
Monitor
tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
Monitor
hitung granulosit dan WBC.
Monitor
kerentanan terhadap infeksi..
Pertahankan
teknik aseptik untuk setiap tindakan.
Inspeksi
kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
Inspeksi
kondisi luka, insisi bedah.
Ambil
kultur jika perlu
Dorong
istirahat yang cukup.
Monitor
perubahan tingkat energi.
Dorong
peningkatan mobilitas dan latihan.
Instruksikan
klien untuk minum antibiotik sesuai program.
Ajarkan
keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.
Laporkan
kecurigaan infeksi.
Laporkan
jika kultur positif.
|
5
|
Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatan
nya b/d kurang terpapar dg informasi, terbatasnya kognitif
|
Setelah
dilakukan askep ........jam, pengetahuan
klien meningkat. Dg KH:
Klien / keluarga mampu menjelaskan kembali penjelasan yang telah
dijelaskan
Klien / keluarga kooperatif saat dilakukan tindakan.
|
Teaching :
Dissease Process
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga
tentang proses penyakit
Jelaskan
tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebab yang mungkin
Sediakan
informasi tentang kondisi klien
Siapkan
keluarga atau orang-orang yang berarti dengan informasi tentang perkembangan
klien
Sediakan
informasi tentang diagnosa klien
Diskusikan
perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di
masa yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit
Diskusikan
tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
Jelaskan
alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
Dorong
klien untuk menggali pilihan-pilihan atau memperoleh alternatif pilihan
Gambarkan
komplikasi yang mungkin terjadi
Anjurkan
klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
Gali
sumber-sumber atau dukungan yang ada
Anjurkan klien
untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas kesehatan
kolaborasi
dg tim yang lain.
|
6
|
Risiko aspirasi b/d inefektifnya reflek menelan
|
Setelah
dilakukan askep …. jam tidak terjadi aspirasi / Aspiration
tercontrol
Kriteria Hasil :
Dapat
bernafas dengan mudah dan frekuensi normal (16-20x/mnt).
Pasien
mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu melakukan oral
hygien, serta posisi tegak selama M/M
Menghindari
factor risiko
Jalan
nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara nafas
abnormal
|
Aspiration precaution
Monitor
tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan
Monitor
status paru
Pelihara
jalan nafas
Monitor
v/s
Lakukan suction
jika diperlukan
Cek
nasogastrik sebelum makan
Hindari
makan kalau residu masih banyak
Potong
makanan kecil kecil
Haluskan
obat sebelum pemberian
Naikkan
kepala 30-45 derajat pada saat dan setelah
makan
Jika
pasien menunjukkan gejala mual muntah, posisikan klien miring.
Jika perlu
suapi klien perlahan dan berikan waktu cukup untuk mengunyah / menelan
|
7
|
Defisit self care b/d kelemahan
|
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan …. jam klien mampu Perawatan diri
Self care :Activity Daly Living
(ADL) dengan indicator :
Pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari (makan, berpakaian, kebersihan,
toileting, ambulasi)
Kebersihan
diri pasien terpenuhi
|
Bantuan
perawatan diri
Monitor
kemampuan pasien terhadap perawatan diri
Monitor
kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan
Beri
bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
Bantu
klien dalam memenuhi kebutuhannya.
Anjurkan
klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
Pertahankan
aktivitas perawatan diri secara rutin
Evaluasi
kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berikan
reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam melakukan perawatan diri sehari
hari.
|
8
|
Harga diri rendah b/d perubahan gaya hidup
|
Setelah dilakukan askep …. jam klien menerima keadaan dirinya Dg KH:
Mengatakan
penerimaan diri & keterbatasan diri
Menjaga
postur yang terbuka
Menjaga
kontak mata
Komunikasi
terbuka
Secara
seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok
Menerima
kritik yang konstruktif
Menggambarkan
kebanggaan terhadap diri
|
Peningkatan
harga diri
Monitor
pernyataan pasien tentang harga diri
Anjurkan
pasien utuk mengidentifikasi kekuatan
Anjurkan
kontak mata jika berkomunikasi dengan orang lain
Bantu
pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain.
Berikan
pengalaman yang meningkatkan otonomi pasien.
Fasilitasi
lingkungan dan aktivitas meningkatkan harga diri.
Monitor
frekuensi pasien mengucapkan negatif pada diri sendiri.
Yakinkan
pasien percaya diri dalam menyampaikan pendapatnya
Anjurkan
pasien untuk tidak mengkritik negatif
terhadap dirinya
Sampaikan
percaya diri terhadap kemampuan pasien mengatasi situasi
Bantu
pasien menetapkan tujuan yang realistik dalam mencapai peningkatan harga
diri.
Bantu
pasien menilai kembali persepsi negatif terhadap dirinya.
Anjurkan
pasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap dirinya.
Gali
alasan pasien mengkritik diri sendiri
Anjurkan
pasien mengevaluasi perilakunya.
Berikan
reward kepada pasien terhadap perkembangan dalam pencapaian tujuan
Monitor
tingkat harga diri
|
DAFTAR
PUSTAKA
Arya,
Fandy. 2013. Laporan Pendahuluan Askep
Pada Klien (dalam :http://fandyarya2.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-askep-pada-klien.html
). diakses tanggal 15 september 2014.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3.
Jakarta : EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti
Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
Moorhead, Sue, et.al. Nursing Outcomes Classification (NOC).Fourth
Edition. St. Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014 oleh NANDA International. Jakarta : EGC
Bulechek ,Dochterman. Nursing Interventions Classification (NIC).
Fourth Edition. St. Louis Missouri : Mosby Elsevier.
Putra,
semara. 2012. Laporan pendahuluan pada
klien dengan ca nasofaring (dalam : :http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/10/29/laporan-pendahuluan-askep-pada-klien-dengan-ca-nasofaring-2/).
Diakses tanggal 15 September 2014
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor
Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar